Medan - Setelah disentil habis-habisan, lewat kritik pedas dan tajam, melalui pemberitaan yang dimuat oleh puluhan media online dan cetak, seputar indikasi SP3 menyalahi aturan hukum sebenarnya, serta disebut-sebut telah mengangkangi Perkapolri dan disebut-sebut telah mencoreng nama baik dan integritas Presisi Polri.
Akhirnya, Bagian Wassidik dibawah naungan Ditreskrimum Polda Sumut, laksanakan Gelar Perkara Khusus, Jumat (30/8/2024), bertempat di ruang Gelar Perkara Ditreskrimum Polda Sumut, terkait diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor : Sppp.Sidik/643.a/VIII/Ditreskrimum Tanggal 2 Agustus 2024 lalu, seperti yang dimohonkan oleh Pelapor Henri Siregar melalui Kuasa Hukumnya Poltak Silitonga SH MH.
Padahal sebelumnya, Pelaksanaan Gelar Perkara Khusus ini, sempat tidak mendapat tanggapan sama sekali dari Ditreskrimum Polda Sumut, sejak dimohonkan pada Rabu (10/7/2024) lalu oleh pihak Pelapor.
Dan setelah disetujui permohonannya, juga sempat ditunda-tunda pelaksanaannya, hingga beberapa kali dengan alasan yang tidak masuk akal, bahkan sempat dituding adanya upaya Obstruction Of Justice atau Perintangan Penyidikan, terhadap Kharisma Hukum yang harus dipertanggungjawabkan keberadaannya di dalam Laporan Polisi Nomor : LP / 53 / l / 2023 / SPKT / POLDA SUMUT, Tanggal 16 Januari 2023.
Kini nampaknya, pelaksanaan Gelar Perkara Khusus tersebut, sepertinya menjadi jalan hukum terpahit yang mau tidak mau harus ditempuh oleh Bagian Wassidik Ditreskrimum Polda Sumut, karena harus bertentangan dengan ketetapan hukum yang salah, yang sempat diperbuatnya sendiri, sehingga mencederai konsekwensi penetapan hukum sesungguhnya.
Informasi yang dihimpun Awak Media seputar hal ini menyebutkan, bahwa hasil Gelar Perkara Khusus yang dihadiri oleh kedua belah pihak, baik Terlapor dan Pelapor didampingi Kuasa Hukumnya, Perwakilan dari Bagian Wassidik Ditreskrimum Polda Sumut, serta Ahli Hukum Pidana Dr Alpi Sahari SH MHum, yakni akan mendalami Hasil Gelar Perkara Khusus dimaksud, diprediksikan bakal akan membuat SP3 terancam dicabut oleh Ditreskrimum Polda Sumut.
Dan nota benenya, Penyidikan akan dilanjutkan. Yang tidak tertutup kemungkinan, bakal menjadikan Terlapor Rayu Riduan Silitonga, sang Oknum Kepala Desa Teladan, Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, menjadi Tersangka untuk diinapkan didalam dinginnya sel terali besi. Selanjutnya, bakal akan menjadi Terdakwa, untuk dikirim ke dalam penjara menjadi Warga Binaan Rutan maupun Lapas.
Kepada Wartawan saat diwawancarai usai mengikuti Pelaksanaan Gelar Perkara Khusus tersebut, Pengacara Poltak Silitonga SH MH mengatakan, pihaknya bersama Klein dan saksi-saksi datang ke Ditreskrimum Polda Sumut dalam rangka memenuhi Undangan Pelaksanaan Gelar Perkara Khusus, yang telah dimohonkan Kleinnya pada bulan lalu. Atas Perkara dugaan tindak pidana pengerusakan yang diduga dilakukan Rayu Riduan Silitonga, Oknum Kepala Desa Teladan, Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun dan kawan-kawan.
"Dimana pada bulan lalu ada SP2HP atau SP3 yang Kita terima, bahwa Laporan Kita terhadap Pengerusakan sebanyak 70 Tanaman Sawit milik Henri Siregar dihentikan", sebut Poltak Silitonga.
Dengan alasan, lanjut Poltak, Pertama, bukan merupakan tindak pidana, karena adanya Sengketa kepemilikan hak atau keperdataan antara Terlapor dengan Pelapor.
Dan Kedua, lanjutnya, menurut Penyidik dari 70 Tanaman Sawit yang dilaporkan, hanya 4 Tanaman Sawit saja yang dirusak.
"Tapi, setelah Kita jelaskan tadi dihadapan peserta Gelar, karena diduga adanya hal-hal penyeludupan hukum yang dilakukan oleh Penyidik, makanya Kita meminta Gelar Perkara Khusus, sebab Penerbitan SP2HP atau SP3 terhadap Laporan yang telah Kami laporkan, sudah banyak bukti-bukti dan saksi-saksi yang Kita berikan kepada Penyidik, dan semua mengarah kepada tindak pidana pengerusakan, tetapi kok bisa Perkara dihentikan", cetus Poltak.
Dan oleh karena hal itu, sambung Poltak, muncul kecurigaan adanya persekongkolan antara Penyidik dan Terlapor, sehingga terbit SP3 tersebut.
"Sementara, didalam yang Kita laporkan, tidak ada Sengketa Keperdataan (Kepemilikan Hak). Makanya, tadi Saya bilang ke Penyidik, apakah kalian menganggap sengketa keperdataan itu hanya dengan kata-kata, bolehkah begitu ?", cetus Poltak lagi.
Selanjutnya Poltak menjelaskan, kalau memang pihak Terlapor benar, sesuai dengan PHGR Tanah yang dibeli adalah 50 Ha, dan Tanaman yang dirusak itu di dalam lahan yang dibeli, kenapa pihak Terlapor tidak berani mengatakan waktu dalam Gelar Perkara Khusus, bahwa lahan yang dikuasai adalah 50 Ha.
"Tidak berani, karena lahan yang mereka kuasai 60 Ha.", cetus Poltak kembali. Coba Kamu berdiri, katakan bahwa lahan yang Ku kuasai itu 50 Ha, sesuai yang Ku beli, Saya bilang kepada Terlapor, tidak berani dia, karena yang diambilnya 60 Ha, yang mengakibatkan Lahan Kebun Sawit milik Henri Siregar itu terambil 10 Ha", cetus Poltak lagi menirukan uncapannya saat dalam Gelar Perkara Khusus.
"Makanya tadi disana Peserta Gelarnya sangat kritis, ada dari Bidkum dan lain-lain mereka menyatakan, sebenarnya hal ini gampang, yang 50 Ha diukur, yang 25 Ha diukur dan yang 25 Ha lagi diukur, selesai. Ya memang kalau 50 Ha di beli, 50 Ha dikuasai, kata peserta Gelar lainnya kepada Terlapor, sehingga membuat Terlapor terdiam.", cetus Poltak lagi.
Poltak juga menjelaskan, bahwa pihaknya didalam Gelar Perkara Khusus tersebut, sudah menjelaskan dan menekan habis pihak Terlapor bahwa tanah yang dikuasai Terlapor adalah 60 Ha, sesuai Gambar Peta Pengukuran Tanah yang dikeluarkan BPN Simalungun.
"Makanya Saya tanya kepada Terlapor, berani nggak Kau mengatakan bahwa yang Kau kuasai itu cuma 50 Ha sesuai PHGR, 60 Ha, ini gambarnya, sudah Kami ukur dengan BPN dan Polres Simalungun", cetus Poltak lagi.
Dan mengenai SP3, seperti yang dikatakan Ahli Hukum tadi, jelas Poltak, bahwa proses SP3 dalam 1 Perkara Tindak Pidana, ada 2 hal SP3 itu bisa dibatalkan. Contohnya, SP3 tentang Penyidikan yang dihentikan, karena tidak cukup bukti, demi hukum, bukan tindak pidana.
Tapi, sambung Poltak, bila ada yang keberatan dan juga memberikan fakta-fakta baru tentang SP3 ini bisa dimohonkan untuk tinjau kembali, antara lain dengan 2 hal. Yakni Pertama, di Prapidkan atas SP3 dari sebuah perkara dibuka atau ditutup. Kedua, dengan memohonkan Gelar Perkara Khusus.
"Jadi dengan adanya Gelar Perkara Khusus, seperti yang Kita mintakan itu, dan Kita bawa fakta-fakta, dan bukti hukum yang jelas. Kita ungkapkan dan dapat diterima sesuai fakta bukti-bukti tersebut di lapangan, bisa dibuka kembali perkaranya dan SP3 tersebut dicabut, jika memang ada kesalahan-kesalahan prosedural yang dilakukan Penyidik dalam Penyidikan, sehingga terbitnya SP3", cetus Poltak lagi.
"Dan setelah Kita tadi melakukan Gelar Perkara Khusus, Kita langsung argumentasi, dari Pihak Pelapor juga ada, dan dari pihak Terlapor juga ada, dan semua dari pada organ Kepolisian yang ada disitu, dan sudah Kita paparkan. Nanti akan diadakan lagi Gelar Perkara Khusus Pendalaman. Dan ada beberapa peserta Gelar juga meminta supaya ada pendalaman terhadap Perkara yang Kita Laporkan itu", tandas Poltak lagi.
Pihaknya berharap, Kepolisian Polda Sumut, janganlah institusi ini tercoreng, hanya karena oknum Penyidik-Penyidik nakal, yang mungkin menerima sesuatu dari orang lain, sehingga memaksakan untuk menerbitkan SP3 yang bertentangan dengan koridor dan penetapan hukum semestinya.
"Saya mohon kepada Kapolda Sumut, Ditreskrimum Polda Sumut dan Kabag Wassidik, tetaplah menjaga Marwah Presisi Polri. Karena Kita juga tidak mau membelokan yang lurus dan meluruskan yang bengkok. Kalau yang salah, PH Jepang akan tetap mengatakan salah, siapapun dia. Bahkan yang terlapor itu adalah Dongan Tubu Saya (Satu Marga Saya), kalau dia salah maka tetap akan Saya katakan salah. Tapi kalau dia benar, Saya akan tetap bela kebenaran itu. Itulah yang telah Kita lakukan hari ini, mudah-mudahan untuk Pendalaman Gelar Perkara Khusus yang mereka lakukan, bisa memberikan keadilan kepastian hukum yang tidak berbelok-belok kepada orang yang terjolimi", tandas Poltak.
Disisi lain, Tumpak Siregar (Bapak dari Henri Siregar - Pelapor) yang merupakan orang terlibat langsung menjual tanahnya kepada Roslina Siregar (Ibu dari Rayu Riduan Silitonga) saat dikonfirmasi Wartawan terkait hal ini mengatakan, bahwa banyak liku-liku yang terjadi waktu penyidikan di Polres Simalungun. Seakan-akan mereka tidak pro kepada hukum yang berlaku.
"Sebenarnya, masalah ini, masalah sepelenya ini. Yang Saya sayangkan kenapa masalah sesederhana ini sampai ke Polda. Pembagian Kebun dari orang tua Saya itu 100 Ha. Yaitu, 50 Ha, 25 Ha, 25 Ha", sebutnya.
Pihaknya mengucapkan terima kasih kepada PH Poltak Silitonga, dimana benar-benar berbuat membela kebenaran di waktu Gelar Perkara Khusus tersebut.
"Menurut Saya hasil Gelar Perkara tadi, 5 : 0. Kenapa dibilang begitu, karena 5 orang polisi itu yang menyatakan, bahwa ini masalah gampang, ukur saja yang dijual 50 Ha dijual. Lantaran pihak Terlapor tidak mau mengakui lahan itu lebih 50 Ha. Padahal, sebenarnya lebih dari 50 Ha, sesuai dengan Peta Kita yang dikeluarkan oleh BPN Simalungun sebanyak 2 kali", cetus Timpak Siregar.
Menurutnya, hal ini sangat aneh, karena sampai 2 kali BPN Simalungun melakukan pengukuran lahan, tapi tetap saja bermasalah. Kalau tiga kali pengukuran, itu tidak mungkin. Karena sudah jelas Petanya dan belakangan ini, BPN Tutun atas rekomendasi dari Polres Simalungun dan mereka juga Tutun langsung.
Pihaknya berharap, kepada para aparat Kepolisian Polda Sumut yang turut menjadi peserta Gelar Perkara Khusus tersebut, betul-betul menjalankan Hukum sebenar-benarnya, tanpa boleh diientervensi dengan cara apapun dari pihak Terlapor.
Disisi lain, salah seorang Warga Desa Teladan yang tidak mau disebutkan namanya, saat dikonfirmasi Wartawan terkait hal ini mengatakan, pihaknya juga merupakan Korban atas Pembuatan Parit Gajah yang dilakukan oleh Rayu Riduan Silitonga beserta komplotannya, sehingga tidak ada lagi akses jalan masuk untuk menuju ke Kebun Sawit miliknya.
Diberitakan sebelumnya, Pelapor Henri Siregar kerap mendapat perlakuan sewenang-wenang dari Roslina Siregar dan anaknya Rayu ridwan Silitonga si Oknum Kades Teladan. Dan telah melakukan berbagai tindakan melawan hukum dengan cara premanisme berupa teror, pengancaman, intimidasi dan bentuk persekusi lainnya, agar Henri Siregar takut dan tidak berani melawan.
Sehingga Roslina Siregar dan anaknya Rayu Riduan Silitonga leluasa tetap dapat menguasai tanah milik Henri Siregar seluas 10 Ha, dengan membuat Henri Siregar tidak berdaya dan selalu ketakutan untuk memanen sawit miliknya.
Selanjutnya, Rayu Riduan Silitonga beserta kawan-kawannya menutup Akses Jalan ke Kebun Sawit milik Henri Siregar, serta warga lainnya dengan membuat Parit Gajah memakai alat berat beko, agar tidak bisa dilalui.
Ketika hal ini dikonfirmasi Awak Media kepada Wakapolda Sumut - Brigjen Pol. Rony Samtana, S.I.K., M.T.C.P, hingga berita ini dimuat tidak memberikan jawaban.
Hal serupa juga ditemui dari Direskrimum Polda Sumut -Kombes Pol Sumaryono, saat dikonfirmasi terkait hal ini juga tidak menjawab.
Dan tidak berbeda dengan Kabag Humas Polda Sumut Kombes Pol Hadi Wahyudi, saat dikonfirmasi tentang ini juga tidak menjawab konfirmasi Wartawan.
Kondisi yang sama juga ditemui dari Kabag Wassidik Ditreskrimum Polda Sumut AKBP Mangata Hutagalung, ketika dikonfirmasi mengenai ini, juga tidak menjawab konfirmasi Wartawan.
Sementara itu, Kapolda Sumut Inspektur Jenderal (Irjen) Whisnu Hermawan Februanto SIK MH, hingga berita ini diterbitkan belum dapat ditemui atau dihubungi guna konfirmasi. ( Lidia)